Tampilkan postingan dengan label stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label stories. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Mei 2012

Back Home

"Emangnya Eza pikir, tante mau nerima eza kalo eza terus-trusan kayak gini? ga akan. kinder aja ga mau nerima eza, apalagi tante."
Itulah hal yang kukatakan padanya, saat ia kabur dari asrama karena sebuah kenakalan.
Dia terdiam dan tiba-tiba seperti kehilangan nafsu makannya
Lalu dia menyusut sesuatu dari matanya. Dia menangis. Iyakah?
Padahal setelah beratus kata2 keras yang dilontarkan kakakku tidak juga meluluhkannya.

Aku tak kuasa lagi menahannya. aku juga mau menangis. Asal dirimu tahu, Cinta,
Saat aku mengatakan hal itu, disaat yang sama aku mengingkarinya dan mengatakan hal yang sebaliknya.
Kapanpun kamu merasa terbuang, kamu boleh kembali ke rumah ini, setiap saat. kapanpun

Tapi sayangnya kamu terlanjur nakal. Sangat nakal bahkan untuk ukuran anak kelas 1 SMP sepertimu.
Apalagi yang harus ku katakan ketika aku ingin mengungkapkan cinta dengan jalan yang berbeda
Karena ternyata cinta dengan senyum dan pelukan, terkadang tidak cukup untuk mengungkapkan sebuah kasih sayang dan perhatian

Aku selalu ada untukmu. Disini. Menjagamu dan Mendoakanmu.

-Windari

Selasa, 08 Mei 2012

Ketidakteraturan yang indah

Terkadang keteraturan itu membosankan dan terkadang ketidak teraturan itu menyemangkan dan meledak-ledak bagai kejutan. Mungkin sebuah rutinitas akan terasa membosankan, mungkin. Tapi tidak juga. Ya, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Mengapa? Ya, dengan mensyukuri apapun - syukur dalam setiap sejuk udara pagi hari yang kau tarik dan hembuskan, dalam setiap tegap langkah kakimu yang penuh semangat, dalam setiap senyum orang yang kau temui di jalan, dalam setiap kedipan mata penuh rasa syukur pada Tuhanmu.

Dan semuanya - dalam rutinitas itu - terkadang hadir ledakan-ledakan kecil mengejutkan yang dibingkiskan Tuhan untuk kita dan memberikan gradasi yang lebih meriah dalam hari yang kita jalani.

Ini hanya sebuah tulisan acak - karena pikiran saya sedang tidak beraturan, pikiran yang terkadang seperti berisi ratusan kelereng yang mendesak ingin keluar. Ya, ketidakteraturan itu indah.

Senin, 30 April 2012

Dia Yang Hebat

Hal ini kudengar langsung dari bibir Bob Sadino, paling sedikit tiga kali. Pertama dihadapan orang banyak, lalu kedua ketika berbincang denganku face to face, dan ketiga di Buku "Belajar Goblok dari Bob Sadino".

Tetapi adegan yang paling berkesan adalah ketika hal itu diucapkannya didepan para pengusaha yang sengaja diundang beliau kerumah. Dan diantara mereka hanya aku undangan yang agak nyeleneh..seorang photographer.

    "Kalau kalian berpikir bahwa Bob Sadino hebat, kalian salah besar. Tapi kalian tak sepenuhnya salah, memang seperti itulah yang diangkat oleh media tentang pengusaha nyeleneh bernama Bob Sadino". Ia terdiam sebentar sambil mengusap wajahnya. Lalu melirik kearah dapur, kemudian menatap dengan mesra seseorang. Disana terlihat Mami (istri Om Bob) tengah duduk makan. Kamipun ikut-ikutan melirik kearah yang sama.

    "Dia..dia itu..", ujar Om Bob terbata-bata dengan suara berat. Ekspresi wajah haru itu membuat kami hampir tidak berani menatap kearah beliau.

    "Dia yang hebat...", lanjut Om Bob sambil menarik nafas panjang dan berat, lalu menghembuskannya perlahan.

    "Kalau ketika saya menjadi kuli batu dulu..dia meninggalkan saya..habislah sudah.."

    Kali ini Om Bob menunduk hikmat, tangannya kini menggosok lututnya yang telah keriput.

    Seisi ruangan sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah hembusan 12 AC yang terpasang di ruangan besar itu. Atmosfir cinta yang kuat memenuhi ruangan itu demikian kuat.

    "Without Her.. I'm just like a piece of shit on the table..a big piece of shit on the table !"

Kini tak seorangpun berani menatap Bob Sadino..kami terutama para lelaki tertunduk dalam. Kata-kata tak terduga..

dan jika aku bukan laki-laki pastilah aku sudah meneteskan air mata melihat adegan ini didepan hidungku.



***



Hiruk pikuk sexy dancer sudah mereda, meskipun pesta belumlah usai. Kini laki-laki berdarah Bali itu berdiri tegak

sambil menggenggam mikrofon ditangan kirinya. Kadek Sardjana, seorang owner perusahaan minyak dan gas terkemuka berdiri dihadapan seluruh karyawan dan partner bisnis beliau. Hampir tidak bisa bicara..

    "Saya tidak sedang mabuk..". ujarnya perlahan. Cerutu dijari kanannya tampak bergetar, jelas ia sedang berusaha menguasai dirinya sungguh-sungguh.

    "Kalian tahu siapa saya..bagi saya kalian bukan karyawan..tapi kalian adalah kawan seperjuangan", sebentar ia menatap mereka satu-persatu.

    "Kalian tahu persis baik-buruk saya, dan apa yang telah saya lakukan..saya bukan laki-laki yang sempurna", kembali Kadek menarik nafas dalam-dalam. Wajah laki-laki pemberani itu melembut.

    "Tapi saya ingin kalian tahu..bahwa tanpa dia", kini jari kanan itu membuka dan mengarah penuh hormat kearah seseorang di atas sana, Sang Istri Tercinta..

    "Tanpa dia..semua ini tidak akan seperti yang kalian lihat sekarang"

    Kini Kadek Sarjana sedikit menundukkan kepala seolah memberi hormat...

    "Honey..aku bukan laki-laki yang sempurna..but I Love You so Much..semua ini untuk mu Honey"

kini ruanganpun bertambah sunyi senyap..tidak ada satupun yang berani bicara atau bertepuk tangan.

Sementara wanita luar biasa diatas sanapun mulai menangis terharu..

dan beberapa saat kemudian pasangan luar biasa itupun tampak berdansa di dance floor dalam remang lampu, dikelilingi karyawan dan udnangan.



***



    "Mau tahu apa yang saya banggakan ?", tanya Mario Teguh kepada seluruh hadirin yang hadir distudio itu.

    "Mau tau apa itu ?", ulangnya sekali lagi.

    Kami semua terdiam. Masing-masing memendam pertanyaan besar. Apa yang dibanggakan oleh seorang Mario Teguh ? Pertanyaan yang aneh. Betapa banyak yang dapat dibanggakan oleh seorang Mario Teguh !!!

    "Karena ada yang mengangguk..maka saya akan menjawabnya juga", sambung beliau..melihat kebingungan kami. Jelas tak satupun yang betanya, namun Mario memang tak memerlukan pertanyaan..Ia hanya ingin mendelarasi sesuatu.

    "Yang paling saya banggakan adalah istri saya..", sambungnya dengan mata berkaca-kaca.

Seluruh hadirinpun bertepuk tangan.



***

    "Made..kamu lagi ngapain ??", tanya sesorang diujung telpon sana. Suara yang khas. Suara yang begitu sering kita dengar meneriakkan "Success is my rigth !! Salam Sukses...Luar BIasa !!!!"

    Yaa..Andrie Wongso. Beliau menelponku disaat yang tak kuduga sama sekali. Ketika aku sedang bercelana pendek, memotong rumput dan belum mandi. Kami ngobrol sebentar...lalu ketika obrolan kami menyerempet ke keluarga..anak..lalu istri. Iseng saya menanyakan hal ini.."Pak Andrie..menurut Bapak apa peran istri bagi seorang Andrie Wongso..?"

    Seketika itu tokoh yang telah menginspirasi begitu banyak orang itu pun terdiam. Aku tahu hubungan telpon tidak terputus. Motivator Nomer 1 itu memang sengaja diam.

    Nyaris lebih dari satu menit.

    "Pak Andrie..?", tanyaku hati-hati. Beberapa saat kemudian sebuah suara berat dari Andrie Wongsopun muncul." Iya Made..I hear you..", Andrie kembali terdiam,"Istri..yah...?".

    Aku mendengar suara senyuman dari telepon beliau.

    "Tanpa istri..Andrie Wongso pastilah bukan Motivator Nomer 1...entah jadi apa dia !!", ujarnya penuh perasaan.

    "Made, dialah satu-satunya orang yang begitu tabah mendampingi saya dimasa-masa sulit dulu.."

Minggu, 29 April 2012

UDIK?

Deso (baca ndeso) itulah sebutan untuk orang yang norak, kampungan, udik, shock culture, Countrified Dan sejenisnya. Ketika mengalami atau merasakan sesuatu yang baru Dan sangat mengagumkan, maka IA merasa takjub Dan sangat senang, sehingga ingin terus menikmati Dan tidak ingin lepas, kalau perlu yang lebih dari itu. Kemudian IA menganggap hanya dia atau hanya segelintir orang yang baru merasakan Dan mengalaminya. Maka IA mulai atraktif, memamerkan Dan sekaligus mengajak orang lain untuk turut merasakan Dan menikmatinya, dengan harapan orang yang diajak juga sama terkagum-kagum sama seperti dia.

Lebih dari itu IA berharap agar orang lain juga mendukung terhadap langkah-langkah untuk menikmatinya terus-menerus. Hal ini biasa, seperti saya juga sering mengalami hal demikian, tetapi Kita terus berupaya untuk terus belajar dari sejarah, pengalaman orang lain, serta belajar bagaimana caranya tidak jadi orang norak, kampungan alias deso.

Semua kampus di Jepang penuh dengan sepeda, tak terkecuali dekan atau bahkan Rektorpun Ada yang naik sepeda datang ke kampus. Sementara is Pemilik perusahaan Honda tinggal di sebuah apartemen yang sederhana. Ketika beberapa pengusaha ingin memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia mereka menjemput pejabat Indonesia di Narita. Dari Tokyo naik kendaraan umum, sementara yang akan dijemput, pejabat Indonesia naik Mobil dinas Kedutaan yaitu mercy.
 
Ketika saya di Australia berkesempatan melihat sebuah acara ceremoni dari jarak yang sangat dekat, dihadiri oleh pejabat setingkat menteri, saya tertarik mengamati pada Mobil yang mereka pakai Merk Holden baru yang paling murah untuk ukuran Australia. Yang menarik, para pengawalnya tidak terlihat karena tidak berbeda penampilannya dengan tamu-tamu, kalau tidak jeli mengamati Kita tidak tahu mana pengawalnya. Di Sidney saya berkenalan dengan seorang pelayan restoran Thailand. Dia seorang warga Negara Malaysia keturunan cina, sudah selesai S3,  Sekarang lagi mengikuti program Post Doc, Dia anak serorang pengusaha yang kaya raya. Tidak mau menggunakan fasilitas orang tuanya malah jadi pelayan. Dia juga sebenarnya dapat beasiswa dari perguruan tingginya.
 
Satu bulan saya di jepang tidak melihat orang pakai hp communicator, mungkin kelemahan saya mengamati. Dan setelah saya baca Koran ternyata konsumen terbesar hp communicator adalah Indonesia. Sempat berkenalan juga dengan seorang yang berada di stasiun kereta di Jepang, ternyata dia anak seorang pejabat tinggi Negara, juga naik kereta. Yang tak kalah serunya saya juga jadi pengamat berbagai jenis sepatu yang di pakai masyarakat jepang ternyata tak bermerek, wah ini yang deso siapa yaa?

Sulit membedakan tingkat ekonomi seseorang baik di jepang atau di Australia, baik dari penampilannya, bajunya, kendaraannya, atau rumahnya. Kita baru bisa menebak kekayaan seseorang kalau sudah tahu pekerjaan Dan jabatanya di perusahaan. Jangan-jangan kalau orang

Jepang diajak ke Pondok Indah bisa Pingsan melihat rumah segitu gede Dan mewahnya. Rata-rata rumah disana memiliki tinggi plafon yang bisa dijambak dengan tangan hanya dengan melompat. Sehingga duduknya pun banyak yang lesehan. Sampai akhir hayatnya Rasulullah tidak membuat istana Negara Dan Benteng Pertahanan (khandaq hanyalah strategi sesaat, untuk perang ahzab saja), padahal Rasulullah sudah sangat mengenal kemawahan istana raja-raja Negara sekelilingnya, karena Beliau punya pengalaman berdagang. Ternyata Beliau tidak menjadi silau terus ikut-ikutan latah ingin seperti orang-orang. Lalu dimana aktivitas kenegaraan dilakukan? Mengingat beliau sebagai kepala Negara. Jawabannya ya di masjid.

Beliau punya banyak jalan yang legal untuk bisa membangun istana. Di Mekkah nikah dengan janda kaya, di madinah jadi kepala Negara, punya hak prerogative dalam mengatur harta rampasan perang Dan Ada jatah dari Allah untuk dipergunakan sekehendak beliau, belum hadiah dari raja-raja. Tetapi mengapa beliau sering kelaparan, ganjal perut dengan batu, puasa sunnah niatnya siang Hari, shalat sambil duduk menahan perih perut Dan seterusnya.

Ketika Indonesia sedang terpuruk, Hutang lagi numpuk, rakyat banyak yang mulai ngamuk, Negara sedang kere, banyak yang antri beras, minyak tanah, minyak goreng dll. Maka harga diri Kita tidak bisa diangkat dengan medali emas turnamen olah raga, sewa pemain asing, banyak ceremonial yang gonta-ganti baju seragam, baju dinas, merek Mobil, proyek mercusuar, dll, dsb, DST

Bangsa ini akan naik harga dirinya kalo utang sudah lunas, kelaparan tidak Ada lagi, tidak Ada pengamen Dan pengemis, tidak Ada lagi WTS (di Malaysia “Wanita Tak Senonoh”) , angka kriminal rendah, korupsi berkurang, punya posisi tawar terhadap kekuatan global. Maka orang Deso (alias norak) tidak mampu mengatasi krisis karena tidak bisa menjadikan krisis sebagai paradigma dalam menyusun APBD Dan APBN. Nah karena yang menyusun orang-orang norak maka asumsi Dan paradigma yang dipakai adalah Negara normal atau bahkan mengikut Negara maju. Bayangkan Ada daerah yang menganggarkan Sepak Bola 17 Milyar sementara anggaran kesranya 100 juta, wiiieh!

Akhirnya penyakit norak ini menjadi wabah yang sangat mengerikan dari atas sampai bawah :
- Orang bisa antri Raskin sambil pegang hp
- Pelajar bisa nunggak SPP sambil merokok
- Orang tua lupa siapkan SPP, karena terpakai untk beli TV Dan kulkas
- Orang bule mabuk krn kelebihan uang, Orang kampung mabuk beli minuman patungan
- Pengemis bisa pake Walkman sambil goyang kepala
- Para Pengungsi bisa berjoged dalam tendanya
- Orang beli Gelar akademis di ruko-ruko tanpa kuliah
- Ijazah S3 luar negeri bisa di beli sebuah rumah petakan gang sempit di cibubur
- Kelihatannya orang sibuk ternyata masih sering keluar masuk Mc Donald
- Kelihatannnya orang penting, ternyata sangat tahu detail dunia persepakbolaan.
- Kelihatan seperti aktivis tapi habis waktu untuk mencetin hp
- 62 tahun merdeka, lomba-lombanya masih makan kerupuk saja
- Agar rakyat tidak kelaparan maka para pejabatnya dansa dansi di acara tembang kenangan.
- Agar kampanye menang harus berani sewa bokong-bokong bahenol ngebor
- Agar masyarakat cerdas maka sajikan lagu goyang dombret dan wakuncar
- Agar bisa disebut terbuka maka harus bisa buka-bukaan
- Agar kelihatan inklusif mk hrs bisa menggandeng siapa saja, kl perlu jin tomang jg digandeng
Yang lebih mengerikan lagi adalah supaya kita tidak terlihat kere, maka harus bisa tampil keren. Makin kiamatlah kalo si kere tidak tahu dirinya kere.
 
By :  Ust. Abdullah Muadz
Source : Facebook

Minggu, 08 April 2012

Kasih Yang Terbesar

Suatu pagi yang sunyi di Korea, di suatu desa kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.

Tiba-tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan seng mental ke seluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu terluka.

Ada seorang gadis kecil yang terluka di bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.

Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang yang memiliki golongan darah yang sama. Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu.

Kemudian beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu dan perawat menerjemahkan, "Apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di antara kalian yang bersedia memberikan darahnya utk teman kalian, karena jika tidak, ia akan meninggal!"

Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki di belakang mengangkat tangannya dan perawat membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah.

Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah. "Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak akan sakit kok." Lalu dokter mulai memasukan jarum, ia mulai menangis. "Apakah sakit?" tanya dokter itu. Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!" kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya.

Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu. "Apakah sakit?"

Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."

"Lalu kenapa kamu menangis?", tanya dokter itu.

"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab bocah itu.

Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?"

Dengan air mata di pipinya, bocah itu menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan gadis itu aku harus menyerahkan seluruh darahku!"

Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk memberikan darahmu?"

Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah temanku, dan aku mengasihinya!"

Source >> http://www.michaelyamin.net/

***Mengikat Makna***

"Ya, Tak banyak orang yang bisa memberikan hidupnya untuk orang lain - bahkan mungkin untuk keluarga atau orang2 yang sangat dicintainya sekalipun. Tapi, saat kamu belajar untuk Ikhlas, mungkin kamu akan kehilangan dirimu, tapi Tuhan akan menggantinya dengan dunia dan seisinya."
Semoga Bermanfaat^^

Jumat, 09 Maret 2012

Hingga Akhir Waktu

Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang dibalik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini.

Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Namun ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!!


Usianya sudah tidak muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.

Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari…saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya-- karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing- - Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu 'agar semua anaknya dapat berhasil'.

Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:
“Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu." Sambil air mata si sulung berlinang.

"Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi,
kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak,
dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak,
kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Si Sulung melanjutkan permohonannya.

”Anak-anakku. ..Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit." Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya.

Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa....disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.

Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkimpoiannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit...” Sambil menangis.

"Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya...BAHWA CINTA SAYA KEPADA ISTRI, SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH".



Sumber : http://kolom-inspirasi.blogspot.com/2011/11/kisah-cinta-seorang-jutawan-yang-luar.html#ixzz1erf30mnA

Sabtu, 07 Januari 2012

Teori Cinta Plato




Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?

Gurunya menjawab, “Ada taman yang indah dan luas didepan sana. Berjalanlah dan kamu tidak boleh mundur kembali. Kemudian ambillah satu saja Bunga yang kamu anggap paling indah dan menakjubkan”

Plato pun berjalan, dan setelah beberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun bunga?”

Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan aku tidak boleh mundur kembali. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling indah dan cantik, tapi aku yakin bahwa ada bunga yang lebih Indah lagi di depan sana, jadi tak kuambil bunga tersebut. Saat aku berjalan lebih jauh lagi, aku menemukan bunga yang lebih indah - tapi seperti yang tadi - aku tetap berfikir bahwa aku akan menemukan bunga yang lebih indah di depan sana. Hingga akhirnya aku bingung dan baru kusadari bahwa bunga-bunga yang kutemukan tak seindah bunga yang tadi, jadi akhirnya tak satupun bunga yang aku ambil.”

Gurunya kemudian menjawab “Jadi ya, itulah cinta”


Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang subur didepan saja. Berjalanlah. Kemudian jika kamu menemukan pohon yang cukup tinggi dan kokoh, maka tebanglah pohon tersebut. Peraturannya sama, kamu tidak boleh mundur kembali.

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang terlalu subur, dan tidak juga terlalu tinggi - tapi terlihat cukup kokoh. Pohon tersebut terlihat biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon ini?”

Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi tadi, Saat aku berjalan dan melihat pohon ini - kurasa pohon ini cukup bagus dan kokoh, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya.”

Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya, itulah perkawinan.”

Catatan kecil:

Cinta itu semakin kamu mencarinya, maka kamu akan semakin sulit menemukannya atau bahkan tidak akan menemukannya sama sekali. Cinta adanya di dalam lubuk hati. Cinta adalah ketulusan. Cinta adalah ketika kamu dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.

Ketika menaruh pengharapan dan keinginan yang lebih akan cinta, maka kamu hanya akan mendapatkan kehampaan dan kamu tidak akan mendapatkan apapun. Dan sayangnya, kamu juga tidak akan bisa mengulang/memundurkan waktu.

Perkawinan adalah tahapan yang lebih tinggi dari Cinta. Perkawinan Adalah proses mendapatkan kesempatan. Ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka kamu akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya. Ketika kamu mendambakan kesempurnaan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu. Karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

::Dikutip dari beberapa sumber
~ Semoga Bermanfaat ~


Selasa, 03 Januari 2012

Kesetiaan; Saat Aku Mencintaimu



Seseorang bercerita kepadaku tentang kisah keluarganya. Berikut aku ringkaskan penuturannya:

“Cukup lama aku berusaha meyakinkan isteriku, bahwa aku harus menikah lagi. Sangat banyak alasan logis yang mendorongku untuk mengambil keputusan itu. Bagiku, itu bukan keputusan yang mudah. Aku sangat mencintai isteriku, namun aku juga tidak bisa melawan keinginan yang sangat kuat untuk segera menikah lagi.

Bukan, bukan karena aku sudah jatuh cinta kepada seorang perempuan. Aku bahkan tidak mempunyai calon isteri baru, karena itu tidak terlalu penting bagiku. Yang aku perlukan hanya kerelaan isteriku untuk mengerti dan memahami keputusanku itu. Aku berpikir rasional, bahwa jika aku menikah lagi, tidak boleh mencederai keindahan hubungan dengan isteri pertama dan anak-anakku.

Aku harus mendapat dukungan penuh dari isteriku, agar bisa menjelaskan dan memahamkan semua pihak tentang keputusanku ini. Terlebih kepada anak-anakku, jika kelak mereka bertanya mengapa aku beristeri dua. Lebih tepat dijawab oleh isteriku, bukan oleh aku. Demikian juga saat harus menjelaskan keputusan ini kepada pihak keluarga besarku dan keluarga besar isteriku. Rasanya akan lebih mudah mereka terima, apabila penjelasan itu datang dari isteriku.

Jika aku yang harus menjelaskan sendiri semua pertanyaan orang tentang keputusanku untuk poligami, akan tampak sebagai sebuah pembelaan diri dan pembenaran sepihak dariku yang memiliki kepentingan. Orang akan mengatakan kepadaku, “Dasar laki-laki”. Sebenarnya bukan ketakutan akan mendapat jawaban seperti itu yang membuatku mengharap dukungan dari isteriku, namun lebih kepada sebuah harapan kebaikan. Kalau orang akan berkata jelek kepadaku, itu hak mereka. Namun aku sangat berharap isteriku tidak memiliki pikiran jelek kepadaku.

Walau cukup susah dan memerlukan waktu yang lama, namun akhirnya aku berhasil juga mendapat dukungan isteriku. Aku memahami keberatannya, karena memang itu merupakan sesuatu yang rumit bagi dirinya. Aku sabar menunggu kerelaan hatinya, agar ketika ia mendukung keputusanku, tidak karena sebab-sebab paksaan atau ancaman ketakutan dariku. Aku tidak menakut-nakutinya dengan perceraian, aku juga tidak mengancamnya dengan cara apapun. Aku hanya menjelaskan berbagai alasan logis kepadanya.

Luar biasa. Akhirnya perjuangan panjangku membuahkan hasil. Isteriku memberikan dukungan penuh kepadaku, sembari memberikan banyak catatan dan persyaratan. Tidak masalah bagiku. Aku merasa bisa memenuhi berbagai catatan dan persyaratan yang ia ajukan. Soal pembagian hari, soal pembagian nafkah sehari-hari, soal perhatian, soal hubungan dengan orang tua, mertua dan anak-anak. Insyaallah aku akan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.

Selesai sudah bab pertama, yaitu tentang kerelaan dan dukungan isteri. Sekarang memasuki bab kedua dari proses ini: siapa yang akan aku nikahi? Bagiku ini lebih mudah daripada bab pertama tadi. Tentang siapa orangnya bukanlah hal yang rumit bagiku, karena aku tidak memiliki syarat-syarat tertentu atau kriteria tertentu. Aku tahu ada banyak gadis yang umurnya sudah cukup tua, di atas tigapuluh lima tahun, yang belum mendapatkan jodoh. Aku juga tahu ada banyak janda yang memerlukan suami untuk meneruskan kehidupan mereka dan membersamai pendidikan anak-anak mereka.

Aku ajak isteriku membahas bab kedua ini. Aku tanyakan apakah ia memiliki teman atau kenalan, yang bisa ia ajukan sebagai calon isteri keduaku. Kami berbincang tentang berbagai nama, kami diskusikan kelebihan dan kekurangannya. Aku berharap, isteri kedua harus bisa diterima oleh isteri pertamaku. Akhirnya sampailah kami kepada nama yang menjadi alternatif pertama untuk menjadi isteri keduaku. Isteriku rela, dan akupun menerima.

Langkah berikutnya adalah menghubungi dan melakukan pendekatan kepada perempuan tersebut. Mencoba menjajagi apakah ia mau menjadi isteri kedua, mengingat usianya yang sudah cukup tua dan belum mendapatkan jodoh. Aku bersyukur, isteriku bersedia melakukan upaya itu. Ia yang akan menghubungi dan menjajagi kemungkinan perempuan itu mau menjadi isteri keduaku.

Selagi kami berproses meneruskan langkah ini, tiba-tiba aku merasakan sakit di bagian perut. Belum pernah aku merasakan sakit seperti ini. Sepertinya bukan sakit perut biasa. Akhirnya aku memeriksakan diri ke dokter di rumah sakit, yang ternyata langsung direkomendasikan untuk bedrest.

Apa boleh buat, aku harus bedrest di rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan yang lebih intensif dan sekaligus bisa istirahat. Beberapa waktu belakangan ini memang volume pekerjaanku sangat banyak. Menyita banyak waktu dan energi, terlebih lagi aku sangat kurang istirahat.

Rumah sakit rujukan di daerahku ternyata sangat padat saat itu. Ruang VIP sudah penuh terisi pasien, ruang kelas utama juga sudah penuh semua. Tinggal tersedia ruang kelas dua. Akhirnya aku harus mendapatkan jatah perawatan di bangsal kelas dua. Artinya, dalam satu bangsal akan ada dua bed untuk dua pasien. Sesungguhnya aku merasa kurang nyaman, karena kurang ada privasi. Terlebih lagi aku tidak tahu siapa pasien yang akan bersama aku di bangsal itu nanti.

Saat dibawa menuju bangsal, ternyata di dalamnya sudah ada pasien yang juga tengah dirawat. Seorang kakek yang terbaring sakit, ditunggui oleh isterinya, nenek yang juga sudah tua. Dari penampilannya, sekilas aku memperkirakan usia nenek sudah di atas tujuhpuluh tahun. Mungkin bahkan sudah delapan puluh tahun. Aku segera berbaring di bed yang disediakan untukku.

Nenek itu ternyata sangat ramah. Ia menjengukku dan menanyakan sakitku. Akupun menjawab dengan sopan dan membalas dengan pertanyaan serupa, sakit apa kakek hingga dirawat di bangsal ini. Ia bercerita panjang lebar, sejak awal sakitnya si kakek, hingga dibawa bedrest di rumah sakit. Sudah seminggu kakek berbaring di rumah sakit dan selalu ditunggui oleh nenek.

“Apa tidak ada anak atau cucu yang bisa bergantian menunggui kakek?” tanyaku.

“Anak-anak dan cucuku sudah menawarkan untuk menunggi kakek. Tapi aku ingin menungguinya sendiri. Dari dulu aku selalu merawatnya”, jawab nenek.

“Jadi nenek selalu menunggui kakek di bangsal ini?” tanyaku.

“Iya nak, sudah seminggu ini aku tidak pulang. Kakek juga lebih senang kalau aku tunggui”, jawabnya.

Tiga hari aku menjalani perawatan dan pemeriksaan medis di rumah sakit. Setiap hari aku menyaksikan kesetiaan seorang nenek dalam melayani dan menjaga suaminya. Ia buatkan teh panas kesukaan suaminya, ia tuntun si kakek ke kamar mandi, ia bantu kakek memakai baju, ia siapkan obat-obat untuk diminum kakek secara rutin, ia suapi kakek ketika tiba jam makan. Tampak betapa kakek dan nenek itu hidup dalam hubungan yang sangat setia.

Sedangkan aku lebih memilih untuk sendirian ketika malam hari. Aku tidak tega isteriku tidur di bangsal yang sempit ini, terlebih lagi ia harus mengurus anak-anak di rumah untuk keperluan sekolah dan makan mereka. Siang hari saja isteriku datang dan menungguiku, hingga sore. Selebihnya aku lebih suka sendiri, toh ada perawat yang bisa membantu semua keperluanku. Biar isteriku menemani anak-anak di rumah.

Setiap hari nenek memberikan kue dan buah-buahan ke meja di samping tempat berbaringku. Bahkan nenek sering menawariku untuk membuatkan minuman yang aku inginkan. Namun aku selalu menolaknya. Ia sungguh perempuan yang sangat baik hati.

Hari keempat aku diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Alhamdulillah, lega sekali rasa hatiku, bisa keluar dari “ruang pengap” bangsal ini. Rasanya dunia demikian indah saat aku meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah. Tak lupa aku berpamitan kepada kakek dan nenek, sembari mendoakan agar kakek segera diberi kesembuhan.

“Semoga anak juga cepat pulih dan kembali ke keluarga”, pesan nenek.

“Kapan nenek pulang?” tanyaku bercanda.

“Aku tak akan pulang tanpa kakek, nak” jawabnya. Sudah aku duga.

Aku meninggalkan rumah sakit setelah menyelesaikan semua urusan administrasi. Dalam perjalanan pulang, aku masih selalu terkenang oleh kakek dan nenek di bangsal itu. Sebuah gambaran kesetiaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Empat hari empat malam aku satu bangsal dengan kakek dan nenek itu, belum pernah aku dengar suara bentakan mereka. Kakek bahkan tidak banyak bicara. Nenek yang lebih banyak bicara. Tidak ada suara dan nada kasar dari kakek ataupun dari nenek. Bahkan sesekali terdengar nenek bercanda yang membuat kakek tertawa kecil. Sungguh, mereka adalah pasangan setia hingga usia senja.

Sesampai di rumah aku tidak segera beraktivitas. Aku masih harus banyak istirahat. Sungguh aku masih sangat terpesona oleh kesetiaan nenek kepada suaminya di bangsal itu. Ia menjaga suaminya yang berbaring lemah. Sendiri saja. Sesekali waktu anak dan cucunya berdatangan menjenguk, namun segera mereka pulang lagi. Sesekali tetangga dan kerabat datang menjenguk kakek, sebentar kemudian mereka juga pulang. Tinggallah nenek sendiri menunggui suami.

Entah sampai kapan mereka berdua berada di bangsal pengap itu. Dokter belum memberi keterangan sampai kapan boleh pulang. Nenek tetap setia. Aku belum pernah mendengar nenek mengeluh tentang urusan ini. Luar biasa kesabarannya.

Malam pertama aku pulang ke rumah, bayangan kesetiaan nenek itu demikian lekat di benakku. Aku segera membandingkan dan membayangkan diriku sendiri. Kelak ketika aku sudah tua, seperti kakek itu, apakah isteri masih akan tetap setia kepadaku? Apakah aku dan isteriku tetap bisa berada dalam hubungan yang demikian intim dan hangat?

“Dik, engkau ingat nenek dan kakek di bangsal itu?” tanyaku.

“Iya, aku mengingatnya. Nenek itu sangat ramah kepadaku. Ia perempuan yang sangat baik”, jawab isteriku.

“Apakah kelak ketika aku sudah tua, engkau akan menjagaku seperti nenek itu?” tanyaku.

“Aku akan tetap menjagamu seumur hidupku”, jawab isteriku pendek.

Aku menangis. Segera kupeluk erat isteriku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa menangis. Mungkin karena kondisi fisikku yang belum terlalu pulih setelah menjalani perawatan selama empat hari di rumah sakit. Mungkin karena aku masih terobsesi oleh kesetiaan nenek di bangsal itu kepada suaminya.

Malam berlalu. Esok pagi terasa sejuk bagiku. Bangun berpagi-pagi untuk menunaikan shalat Subuh. Aku belum bisa ke masjid. Aku shalat di rumah dengan isteri dan anak-anakku. Berjamaah. Nyaman sekali rasa hatiku, merasa memiliki isteri yang setia, dan anak-anak yang meneteramkan jiwa. Aku memimpin doa usai shalat subuh:

Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina adzabannar…

Rabbana hablana min azwajina, wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama…

Pagi hari ini hatiku sudah sangat mantap. Sudah bulat. Aku tidak akan meneruskan proses pernikahan keduaku. Aku sudah berjanji akan hidup hanya dengan isteriku ini, satu-satunya. Tidak perlu ada isteri lainnya lagi.

Siang nanti, setelah anak-anak berangkat sekolah, aku akan menyampaikan keputusanku ini kepada isteriku…..”

>>
Source : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/01/04/kesetiaan-kakek-dan-nenek-itu-membuka-mataku/



Senin, 02 Januari 2012

Arti Sebuah Kejujuran




"Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam dan putih"


Lebih kurang 28 tahun silam, tatkala mendiang Prof Dr Baharuddin Lopa masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, panggung hukum Indonesia geger oleh munculnya sosok Lopa yang jujur, antikorupsi, dan nyali bak harimau. Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam dan putih. Benar atau salah.

Ada banyak cerita tentang kejujuran mantan Jaksa Agung (2001) dan mantan Menteri Kehakiman (2001) ini. Ketika Lebaran menjelang, ia tegaskan kepada anak buahnya untuk tidak menerima parsel Lebaran. Ia menggelar jumpa pers yang di antaranya mengumumkan, seluruh aparat kejaksaan Sulawesi Selatan tidak terima hadiah dalam bentuk apa pun.

Ketika tiba di rumah, ia melihat ada dua parsel di rumahnya. ”Eh, siapa yang kirim parsel ke sini,” ucap Lopa dengan raut masam. Seisi rumah bungkam karena tahu Lopa geram. Lopa kemudian sangat terkejut ketika melihat salah satu parsel tersingkap 10 cm. ”Aduh, siapa yang membuka parsel ini?”

Seorang putrinya maju ke depan dan dengan jujur menyatakan dialah yang buka dan mengambil sebuah cokelat. ”Mohon maaf Ayah,” ujar anak perempuan itu. Lopa menghela napas, ia tidak bisa marah kepada putrinya, tetapi tidak urung ia memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu lagi. Pria Mandar ini menyuruh putranya membeli cokelat dengan ukuran dan jenis yang sama. Cokelat itu dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera dikembalikan kepada pengirimnya.

Suatu hari ia bercakap-cakap dengan istrinya dan mengajak istrinya menghitung tabungan mereka. ”Oh, uang itu sudah cukup untuk uang muka mobil Toyota Kijang,” ujar Lopa.

Maka datanglah ia ke distributor mobil di Makassar. Ia langsung menemui direktur utama perusahaan itu. Lopa menyampaikan keinginannya membeli mobil dengan uang muka sekian rupiah, sisanya dicicil. Sang dirut menawarkan diskon yang biasa ia berikan kepada kawan-kawannya.

Lopa terkejut ketika tahu besaran diskonnya. Sebab bagi dia, diskon lebih dari 3 persen dari harga barang sudah melampaui batas kepantasan. Saudagar tersebut menyatakan, ”Saya penjual, saya hendak beri berapa persen diskonnya, kan, terserah saya, bukankah itu wilayah saya?”

Lopa tetap menolak dan menyatakan diskon hanya 3 persen. Akhirnya, usahawan itu mengalah dan menerima keinginan Lopa. Belakangan, urusan ini membuat ia kikuk karena setiap bulan Lopa datang sendiri menyetor cicilannya. Dan penyetoran itu jauh sebelum tanggal jatuh tempo. Bukan apa-apa, Lopa adalah temannya, ia kikuk harus menerima cicilan langsung dari teman dekat selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia menghormati Lopa yang memegang teguh prinsip hukum yang ”serba hitam putih” itu.

Cerita tentang Lopa yang jujur menjadi semacam legenda di panggung hukum nasional. Suatu hari, ia hendak menunaikan ibadah haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi, yang sukses sebagai pengusaha, memberinya 10.000 dollar AS. Lopa terkejut dengan pemberian ini. Pada kesempatan pertama ia datang ke rumah temannya dan mengembalikan uang itu.

Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itu tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.

Lopa mengungkapkan, seorang penegak hukum mutlak berintegritas. Ia boleh hidup ekstra sederhana, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan menerima apa pun dari siapa pun. ”Banyak di antara masyarakat tidak menyadari, tegaknya hukum menentukan kinerja ekonomi. Sebab, munculnya supremasi hukum akan membuat pelaku bisnis tenang. Kalaupun bisnisnya ”diusik”, para pebisnis itu akan tenang karena ada hukum. Jaksa akan menjalankan tugasnya dengan baik dan hakim akan menjatuhkan vonis yang sesuai hukum dan rasa keadilan.”




Lopa benar. Lihatlah, semua negara yang ekonominya maju, praktik hukumnya pasti baik. Kita masih jauh dari pelaksanaan hukum yang ideal. Hukum masih dipermainkan kekuasaan, mafia peradilan, dan aparat yang tidak jujur.

Betapa kita tidak pening oleh demikian banyak aparat penegak hukum sendiri yang ditahan, diadili, dan kemudian dipenjarakan karena terbukti melawan hukum. Bagaimana pula negeri ini bisa dipercaya para investor dan pelaku ekonomi dalam negeri kalau demikian banyak pejabat negara menjadi terdakwa. Mereka tidak sadar, perbuatannya menahan laju pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak paham bahwa tegaknya hukum sama dengan mulusnya perekonomian.

Sederhananya seperti ini. Apakah ada pedagang yang berani memalsukan merek kalau hukum menjadi panglima? Adakah pebisnis yang mengelak membayar pajak? Apakah ada pelaku ekonomi berani memalsukan akta tanah?

source >> "Kejujuran Lopa" http://nasional.kompas.com/read/2012/01/02/08280746/Kejujuran.Lopa


Aku dan Si Putih




These are the stories when i rode a motorbike >>

*di Suatu sore yang cerah
Teh, nebeng ya pulangnya| Ok | #hening **ngebut on the way** | wah dah nyampe nih | makasih..hmm..teh, ati2 ya dijalan **wajah-cemas-dan-tegang* | Ups..**garuk2kepalamonyet

ga terlalu ngebut sih, tapi lumayan cepet. Pantesan tadi yang dibonceng ga ngobrol2, hening banget bu! hoo..Ini baru cerita pertama

Cerita kedua >>
**setting : pagi2 sekitar jam o5.00 am
bu, mau ke pasar ya, bareng aja, sekalian saya mo ke jalan anu | oh, iya |**hening on the way* | dah nyampe, bu | makasih neng, ati2 ya, saya doain moga selamet *buru2-pergi-dengan-wajah-cemas| -___-

*Ups, padahal kan speednya cuma 60 :D
Hadeehh..aku Jadi inget cerita ini *fiktif*>>

Gue tuh kalo naik motor kaya kilat | oh..cepet, maksudnya | bukan, sering nabrak pohon | #Gubrakk


haha, aku sih enggak (nabrak pohon), palingan agak oleng2 dikit atau nyungseb ke tembok, makanya motornya baret2 hooo. Nah, trus karena tetangga2 di sekitar rumah aku juga tahu kalo si aku tuh masih agak belajar, bahkan kalo misalnya si aku pulang kerja trus pas run menuju gang, itu tuh ibu2 yang tadinya lagi pada ngerumpi, pas ada motor si aku tiba2 pada ke pinggir deh, "eh..eh..kepinggir2 ada motor tuh **motor aku maksudnya ". Berikutnya rombongan ibu2 tersebut pada ke pinggir - bergerak sejauh mungkin dengan wajah cemas berlebihan - bahkan ada yang langsung pulang ke rumah. Atau kalo misalnya (di suatu sore yang indah) anak2 mereka yang lagi maen and lari2 bahagia bersama teman2nya, trus ada motor si aku mau lewat, detik berikutnya si ibu2 akan teriak2 dan bilang, "awas ada motor..ada motor **dengan suara keras dan wajah ngeri berlebihan* " dan yang terjadi kemudian adalah si anak2 yang lagi bermain bahagia tersebut akan berpencar dan berlari2 ke segala penjuru haha..

hadeuhh..kesannya tuh saya suka nabrakin orang gitu haha..

Segitunya? Heloww, aku udah sekitar 8 bulanan naik motor **klo hamil mah, sebulan lagi ngelahirin tuh* tapi teteepp aja orang2 tuh pada parno liat aku nge-ride. Emang sih, masih rada belajar. Tapi kan sekarang aku dah sering bepergian jauh dan sudah bisa run dengan speed rata2 60 km/jam..kl lg lenggang+mood bagus bisa ampe 80 km/jam #pamer haha..palingan kendalanya cuma dikit sih, aku ga terlalu suka jalanan berbatu, belokan, pudunan dan tanjakan serta berharap bahwa semua jalan raya di dunia ini lurus, mulus dan datar2 saja - what?? ga usah naik motor aja sekalian haha..


Jumat, 30 Desember 2011

Cinta Lelaki Biasa




Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

#Author : Mba Asma Nadia >> http://anadia.multiply.com

* * *

::C*ntanya terlihat sederhana tetapi tidak sederhana. So, kesimpulannya adalah, terlepas dari seberapa cantik Istrinya atau seberapa ganteng Suaminya, yang jelas inilah sosok Severus Snape Indonesia #Lho! ..Andai emak n bapak gue aku kayak gini **ngayalsambilngemilrumput

* * Semoga Bermanfaat ^_^ * *




Rabu, 28 Desember 2011

Commitment !

Setelah kemarin saya membahas tentang menyebalkannya kejeniusan seorang teman, sekarang saya akan membahas keanehan seorang teman dengan embel-embel As-Salafy di belakangnya. Teman aneh saya ini bernama Amin Mustangin. Sekarang berjuluk Amin Mustangin As-Salafy. Walau saya post di Fiksiana, ini nyata saudara-saudara.. Check saja profilnya di google nama tersebut.:-P

Saya berteman dengan dia, si Aneh ini, sejak kami SMP. Dulu dia gagap, kumal, baju-bajunya tidak pernah kenalan dengan mahluk yang namanya setrika, Pokoknya sangat tidak gaul deh, suka jadi bahan ledekan teman-teman karena gagapnya itu.

Sekarangpun demikian. Hanya saja stylenya sedikit berubah. Memakai jubah gamis panjang, celana panjang “cungklang” dan berjanggut lebat.

Mirip dengan gambaran teroris-teroris di kepala kita?

Jangan salah sangka… Salafy itu sangat patuh kepada Ulul Amri.

“Apa yang akan kamu lakukan misalkan rumahmu diambil pemerintah untuk suatu proyek?”

Dia menjawab, “Bersabar”.

Aneh kan? orang-orang jaman sekarang kan jawabnya, “Langkahi dulu mayat saya!”. Ada yang rumahnya dilewati sutet untuk kepentingan bangsa saja malah pada demo mogok makan dan jahit mulut…

“Kalau pemerintah menetapkan hari raya tanggal sekian, apa yang kamu lakukan?

Dia menjawab, “Kami mengikuti pemerintah”.

Aneh kan? Padahal kebanyakan orang memilih untuk ngeyel, menganalisa sendiri, atau mengikuti organisasinya. Termasuk saya. hehehe.

Tidak aneh ya? belum selesai.. anehnya adalah, ketika pengumuman kelulusan SMP, dia tiba-tiba menjadi lulusan terbaik sesekolah, bahkan sekecamatan, mengalahkan saya yang ganteng ini.

Masih belum terlalu aneh? Amin yang gagap dan selalu menjadi bahan ledekan ini pernah mengajar murid-murid SD, pelajaran bahasa Inggris. Toeflnya Amin 750, mengalahkan saya yang ganteng ini yang cuma 450.

Masih belum terlalu aneh? Ketika SMP dia berangkat sekolah dari rumahnya yang puluhan kilometer jauhnya naik sepeda, biasanya tiba di sekolah jam 6 pagi. Lagi-lagi mengalahkan saya yang ganteng ini. Saya sampai di sekolah biasanya bersamaan dengan gerbang akan ditutup.. seringkali gerbang sudah ditutup malah.

Masih belum terlalu aneh? Ketika SMP dia tinggal bersama dengan paman dan bibinya yang jarang di rumah. Orang tuanya merantau ke Jakarta bekerja sebagai petani. Sekecil itu urusan mencuci baju dikerjakan sendiri, pantas bajunya kumal tidak pernah mengenal setrika.

Bahkan pernah ketika saya main ketempatnya, saya mendapati dia tubuhnya penuh lumpur, seorang diri sedang menggali tanah untuk membuat batu bata. Tubuh kecilnya sudah tak terlihat dari atas, cuma gumpalan-gumpalan tanah secara rutin beterbangan ke atas dari dalam tanah menandakan aktifitasnya. Anda tahu pekerjaan membuat batu bata itu seperti apa? pokoknya bukan pekerjaan anak-anak deh..

Masih belum terlalu aneh juga? Beberapa bulan lalu, hari sabtu dia main ke rumah saya di Purwokerto. Kami jalan-jalan keliling Purwokerto mencari onderdil dan aksesoris motor. Pokoknya, berapapun biayanya, asal untuk motor OK lah… jangan heran, Amin sekarang sudah sukses, bekerja sebagai teknisi di PT Holcim Indonesia. Dari ribuan pendaftar, yang diterima hanya 16 orang. Aminlah salah satunya.

Amin bermalam di tempat saya. Sedang mengobrol santai, tiba-tiba dia cerita begini, “Dev, besok pagi kan aku mau lamaran…”

Gludak! Saya tercengang. “Lah ngapain kamu di sini?” Saya berondong pertanyaan, “ Pakaian sudah siap? seserahan sudah siap? Ugorampe lainnya sudah siap? Ortu kamu gimana?”

Jawabnya singkat, “Belum. Gampanglah besok pagi”.

Luar biasa!!! Bahkan saya belum tahu siapa calon istrinya! bahkan katanya dia juga belum terlalu kenal siapa calon istrinya.

Iya saya tahu, sebenarnya dalam Islam pacaran itu tidak ada. Adanya adalah Ta’ aruf. Pun bukan ta’aruf ala Artis Solmed. Ta’aruf yang benar ya ala si Amin ini. Tapi kan.. tapi kan.. Banyak tapinya deh untuk bisa mengaplikasikannya.

Sial! lagi-lagi saya yang ganteng ini kalah. Tahu yang lebih menyebalkan? Ketika kondangan, saya dapati mertuanya adalah seorang pegawai pertamina yang tinggal di perumahan elit pertamina Cilacap. Tahu yang paling menyebalkan? Istrinya itu loh….. Subhanallah….

Masih belum terlalu aneh juga? Ketika sms saya, Amin tidak pernah menulis “Assalamungalaikum..” tetapi menulis, “Bismillah…” hehehe.. Oke oke, ini memang tidak terlalu aneh.

Yang aneh, Amin ini anti dengan yang namanya di foto. Dia hobi fotografi, tetapi hanya memotret bunga dan pemandangan alam saja. Tahu kan alasannya kenapa? Dalam Islam menggambar/menyimpan gambar mahluk bernyawa itu tidak boleh. Ini shahih dan tidak ada bantahan. Hanya saja sekali lagi, Tapi kan.. tapi kan.. Banyak tapinya deh untuk bisa mengaplikasikannya.

Masih belum terlalu aneh juga? Amin ini sekarang istiqomah menghindari yang namanya menyanyi atau mendengakan musik, lagu islami atau nasyid sekalipun. Siapa sih manusia yang tidak suka dengan musik? hampir dipastikan tidak ada… Karena mendengarkan musik atau menyanyi itu enak.. tapi justru karena itu lah… itulah tantangannya.. jangan tanya soal Ayu Ting Ting kepadanya yah, dia gak bakal tahu. Tahu kan alasannya kenapa? Saya bukan ahli agama, ke masjid juga jarang, tapi sebenarnya dalam Islam itu menyanyi/memainkan alat musik/ mendengarkan lagu itu tidak boleh. Ini shahih saudara-saudara… Tidak ada alasan walau untuk berdakwah sekalipun. Hanya saja sekali lagi, Tapi kan.. tapi kan.. Banyak tapinya deh untuk bisa mengaplikasikannya.

Masih belum terlalu aneh juga? Amin ini sangat ketat menjaga hartanya dari riba. Seringan-ringannya dosa riba adalah bagaikan seorang anak yang menzinahi ibunya sendiri. Horor kan? Kita sudah terjebak dalam sistem perekonomian dan perbankan sesat.Tetapi tidak dengan Amin.

Masih belum terlalu aneh juga? Kita bayangkan hidupnya Amin akan hampa, sepi dan membosankan tanpa musik, lukisan/foto narsis-narsisan, serta televisi yang merupakan perpaduan keduanya, susah tanpa perbankan, tertekan karena harus menahan keinginan ini dan itu. Nyatanya TIDAK! Amin terlihat sangat bahagia dan hidupnya damai, tenang, sederhana, lega, dan sepertinya jarang galau, tidak seperti saya.

Apa? masih belum terlalu aneh?

Saya nyerah deh.

Oke, paling aneh adalah jika saya lebih dahulu masuk surga daripada si Amin.

hahahahah… Ngimpi.

Mari perbanyak istighfar dan memohon ampun, semoga setidaknya, kita satu antrian di belakang Amin gitu…

Astaghfirullahhala’dzim…

Astaghfirullahhala’dzim…

Astaghfirullahhala’dzim…

Saya sungguh-sungguh ini.. Bukan guyon..

----
Eh, tunggu sebentar saudara-saudara,

Bisa jadi bukan Amin yang aneh.. Saya lah yang aneh.. kita lah yang aneh…

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2011/11/13/orang-salafy-yang-aneh/

Kamis, 30 Juni 2011

Ada Sampah

Di pagi ini, saat saya melewati jalanan bandung yang biasanya ramai, tercium bau menyengat yang berasal dari sampah-sampah jalan. Miris rasanya..

Saya jadi membayangkan sendiri, andai saja saya seorang Bupati Bandung atau Gubernur Jawa barat atau apalah itu, ingin rasanya saya melakukan penyusunan program kebersihan, khususnya yang berkaitan dengan masalah sampah

  • Mempekerjakan lebih banyak orang untuk menjadi tukang sampah, memberikan salary yang cukup dan lain-lain (masih dibayangin)
  • Menyediakan tempat-tempat sampah di pinggir jalan
  • Berkonsultasi terlebih dahulu dengan pakar lingkungan sebelum membuat TPA dalam rangka melakukan pengelolaan sampah yang baik dan benar nantinya
  • Melakukan permbersihan sungai-sungai dari sampah
  • Melakukan perbaikan pada saluran air
Apalagi ya kira-kira ? hmmm...berhubung pengetahuan saya baru sedikit dan saya juga bukan pakar lingkungan, kiranya cukup sekian bahasan mengenai sampah..Hoooo..lain waktu di diteruskan lagi langkah-langkahnya #if any